Oleh : Dangi (Bappeda Kabupaten Cirebon)
Pembangunan sering didefinisikan sebagai pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi identik dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan merupakan kegiatan memanfaatkan sumber daya alam bagi kesejahteraan manusia. Pembangunan dapat juga dikatakan sebagai transformasi ekosistem menjadi barang ekonomi. Untuk menggenjot laju pertumbuhan ekonomi, ekstraksi sumber daya alam dan lingkungan dilakukan secara eksploitatif. Namun, hal yang sering terlupakan adalah bahwa sumber daya alam dan lingkungan bersifat terbatas. Sementara, aktivitas ekonomi bersifat tidak terbatas (unlimited). Sumber daya alam dan lingkungan sudah terlanjur dianggap sebagai barang milik bersama (common goods), sehingga siapapun boleh memilikinya.
Dari perspektif ekonomi, penyalahgunaan pemanfaatan sumber daya milik bersama ini timbul karena tidak adanya keseimbangan yang dapat membatasi eksploitasi. Paradigma ekonomi telah mengabaikan keberlangsungan lingkungan hidup. Nilai lingkungan hidup tidak diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan sehingga pembangunan tidak lagi memperhatikan opportunity cost. Nyatanya, pertumbuhan ekonomi makro menghasilkan capaian yang semu. Seiring itu pula, ekstraksi sumber daya alam yang berlebihan ini berdampak pada perubahan fungsi ekosistem. Keberlanjutan sumber daya alam dan fungsi pelayanan lingkungan (environmental services) semakin terancam. Sumber daya alam dan jasa lingkungan semakin langka. Besarannya tergantung pada pola dan cara pelaksanaan pembangunan.
Dampak Revolusi Industri
Percepatan pembangunan semakin meningkat seiring dengan penemuan teknologi. Penemuan mesin uap oleh James Watt menciptakan revolusi besar dalam pola pembangunan. Revolusi industri menjadi tonggak awal percepatan pembangunan ekonomi. Industri dengan tenaga manusia dan hewan berganti dengan mesin-mesin. Keberadaan mesin-mesin inilah yang memacu produksi. Peningkatan produksi membutuhkan jumlah sumber daya alam yang banyak. Dampaknya tidak hanya peningkatan nilai ekonomi, tetapi pemenuhan bahan baku industri untuk “menyuapi” mesin-mesin produksi mengakselerasi eksploitasi sumber daya alam tidak bisa dihindari. Derap eksploitasi ekosistempun berlangsung secara berlebihan. Akibatnya, kerusakan dan pencemaran lingkungan marak terjadi di mana-mana. Laju degradasi lingkungan bagaikan deret ukur. Sementara, recovery lingkungan bagaikan deret hitung.
Kini, degradasi lingkungan menjadi isu global yang ramai dibicarakan. Akselerasi roda perekonomian yang polutif telah menimbulkan entropi yang semakin mengkhawatirkan. Era revolusi industri dituding menjadi penyebabnya. Revolusi industri ternyata menghasilkan excess demand. Salah satu output negatifnya adalah emisi (buangan) gas karbon semakin meningkat. Secara global, emisi gas karbon mencapai 72 persen per tahun. Di Indonesia, emisi gas karbon bertambah 4,6 persen per tahun. Peningkatan emisi gas karbon berkontribusi memicu terjadinya pemanasan global (global warming). Bumipun beranjak semakin panas. Rata-rata kenaikan suhunya sebesar 0,3 derajat per 10 tahun. Kondisi ini berdampak pada perubahan iklim (climate change) atau Gas Rumah Kaca (GRK). Secara berantai, ini mengganggu kehidupan manusia dan keseimbangan alam. Kenaikan permukaan air laut karena pencairan es di wilayah kutub, anomali musim, kemunculan vektor baru bagi penyebaran penyakit, kepunahan keanekaragaman hayati adalah sederetan dampak perubahan iklim. Walau bagaimana, emisi karbon tidak bisa dihindari. Gas buang karbon tidak hanya berasal dari aktivitas manusia, tetapi juga bersumber dari proses alam seperti gunung meletus dan penguapan (evapotranspirasi dan evaporasi). Lantas, bagaimana kita bisa tetap produktif sekaligus ekonomi berkarbon rendah (low carbon economy)?
Nilai Penting Ekonomi Hijau
Belajar dari perjalanan sejarah pembangunan, paradigma ekonomi hijau (green economy) menjadi perhatian serius. Ini menjadi satu tonggak penting bagi sistem perekonomian dunia. Ekonomi hijau menjadi suatu keniscayaan. Ekonomi Rendah Karbon (ERK) berarti juga menggagas ekonomi hijau. Efektivitas implementasinya bertitik awal dari pemahaman mengenai perubahan iklim dan intensitas kegiatan ekonomi. Tentu, masalah perubahan iklim harus ditemukan pada cara berekonomi, yaitu konsumsi dan produksi. Dari segi konsumsi, kesadaran konsumen menjadi kunci. Gaya hidup konsumen akan memilih barang dan jasa yang berkarbon rendah. Tuntutan konsumen akan “memaksa” produsen untuk merespon pasar. Di Eropa dan Amerika, produk hijau berkaitan dengan kadar karbon (carbon content) mulai dijadikan label barang-barang (eco-labelling), sehingga masyarakat makin lama makin punya pilihan. Tentunya, pada tahap-tahap awal pengembangan green market untuk low carbon tersebut memerlukan mekanisme sertifikasi yang bersifat independent third party certification system. Lantas, apa nilai penting ekonomi hijau bagi Indonesia?. Saat ini, Indonesia mengandalkan sumber daya alam sebagai modal dasar pembangunan. Ekonomi hijau akan mengefisiensi penggunaan sumber daya alam. Selain itu, ekonomi hijau juga akan mengurangi kerusakan lingkungan. Ke depan, Ekonomi hijau memberikan nilai tambah bagi aktivitas ekonomi. Ekonomi rendah karbon memberikan keuntungan seiring dengan isu tren perubahan iklim. Carbon content akan menjadi barier to entry, requirement carbon content menjadi persyaratan mekanisme perdagangan internasional. Ekonomi hijau berupaya untuk mengharmonisasikan kegiatan ekonomi dengan sistem alam. Dengan demikian, ekonomi hijau akan memberikan nilai ganda bagi Indonesia.
Langkah-langkah Strategis
Pemanasan global menjadi tanggung jawab oleh seluruh negara sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sebagai bagian dari koneksitas perekonomian dunia, Indonesia berkomitmen untuk menuju ERK. Komitmen yang sudah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sidang G-20 adalah pengurangan emisi karbon sebesar 26% - 41% sampai tahun 2020. Langkah strategisnya adalah pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Rencana aksi ini mencakup 6 bidang yaitu pengelolaan hutan dan lahan gambut, limbah, pertanian, transportasi dan energi, dan industri. Artinya, secara pro aktif Indonesia mengawali pembangunan ekonomi hijau melalui sinergisitas di enam bidang tersebut.
Pemerintah telah mengambil langkah politis di pertemuan negara-negara maju (G-20). Pemerintah juga telah menggulirkan regulasi. Selanjutnya, derivasi regulasi harus operatif yang menginternalisasi nilai lingkungan hidup kedalam kebijakan ekonomi. Instrumen ekonomi seperti subsidi (insentif), disinsentif (pajak, retribusi), deposit daur ulang harus ditujukan untuk melakukan peningkatan kualitas lingkungan. Otonomi daerah memberikan ruang bagi daerah untuk melakukan valuasi lingkungan. Pemerintah daerah menindaklanjuti RAN-GRK menjadi Rencana Aksi Strategis Daerah (RAD) yang disesuaikan dengan kapasitas masing-masing. Desentralisasi hendaknya dapat menciptakan harmoni yang kondusif bagi terbentuknya ekonomi rendah karbon. Selain itu, Komitmen yang sudah dicanangkan harus mendapat dukungan dari seluruh stakeholders. Perubahan gaya hidup masyarakat menjadi salah satu kunci utama bagi keberhasilan ekonomi rendah karbon. Tanpa itu, ekonomi hijau hanya menjadi komoditas politis, yang hanya beredar pada atmosfer birokrasi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar